Distrik Chikugo, yang terletak di pusat kota Ukiha, berkembang selama periode Edo sebagai kota pos di Jalan Raya Bungo yang menghubungkan Kurume, kota kastil Domain Arima, dan Hita Tenryo. Sejak pertengahan periode Edo dan seterusnya, produksi produk pertanian olahan seperti lilin olahan, pembuatan sake, dan pemurnian minyak menjadi populer. Pada tahun 1869 terjadi kebakaran hebat yang kemudian rumah-rumah pernis beratap genteng dibangun menggantikan rumah-rumah kota beratap jerami, dan para pedagang serta tuan tanah mulai berlomba membangun gedung-gedung indah yang dapat menahan api dan memamerkan kekayaan mereka. Sebagian besar pemandangan kota saat ini terbentuk selama periode Taisho, saat ekonomi berada di puncaknya.


Bahkan sekarang, jalan-jalan di sini dipagari dengan sisa-sisa rumah pedagang yang dibangun dengan gudang tanah liat yang tebal dan diplester, dan sekitar 250 rumah besar yang tersebar di sepanjang Sungai Kasaiyoke dan Sungai Minami Shinkawa. Pada tahun 1996, dipilih sebagai wilayah pelestarian penting untuk kelompok bangunan adat. Di distrik pelestarian ini, pemandangan kota dari rumah dan gudang dari tanah, mansion, kuil yang dikelilingi tanaman hijau subur, sungai, dan saluran air yang mendukung fondasi ekonomi wilayah ini, semuanya bersatu membentuk lanskap bersejarah, dan membentuk kota di wilayah Chikugo dengan pemandangan sejarahnya yang khas hingga saat ini.

Di tempat ini, rumah, toko oleh-oleh, dan restoran dibangun dengan gaya bangunan ala Jepang kuno. Aku mampir ke beberapa toko yang menjual mainan tradisional Jepang dan semua produknya handmade loh! Aku pun membeli oleh-oleh keychain dengan maskot kota Ukiha. Setelah itu aku makan di restoran sekitar sana. Fukuoka memang terkenal dengan rasa makanan yang khas ya, sangat enak!

Kami berjalan-jalan di sekitar kota Ukiha, menyusuri Shirakabe Street. Area ini bisa dibilang kota tua dari Ukiha, karena arsitektural bangunannya masih dijaga sebagaimana adanya dan hanya dilakukan peremajaan namun tidak mengubah struktur besar dari bangunan itu sendiri. Tembok rumah yang seragam berwarna putih dan pintu yang coklat membuat saya teringat pada banyak sekali setting dan tema dari manga-manga yang selalu saya baca. Sambil berjalan, kami pun sesekali memasuki toko-toko lokal yang menjual berbagai mainan dan jajanan untuk merayakan hari raya. Di sana saya melihat secara langsung Koinobori, boneka Zashiki-warashi, bulu tangkis Jepang (Hanetsuki).

Kebetulan kami berkeliling pada sekitar jam 1-2 siang jadi bertepatan dengan jam anak sekolah pulang sekolah. Rasanya surreal sekali melihat anak-anak sekolah Jepang pulang naik sepeda atau berjalan kaki beramai-ramai dengan tertib di lingkungan perumahan dengan arsitektur tua yang terisi oleh toko atau rumah tinggal. Semua yang saya lihat dari kecil pada manga, anime dan dorama rasanya terjadi di depan mata saya sekarang, dan ini adalah definisi sesungguhnya dari “life imitating art”.